Pada prinsipnya ‘Ngelmu Urip‘ atau ilmu hidup itu adalah ‘eling’, yaitu eling terhadap ‘sejatining urip‘
atau ‘hakekating urip’ terhadap manusia. Manusia merupakan mahluk yang
mempunyai kelebihan dibandingkan mahluk lainnya . Kelebihannya karena
mempunyai ‘perangkat hidup’ yang dalam filosofi masyarakat jawa sebagai ‘cipta-rasa-karsa’. Yang ditandai dalam huruf jawa: “ha-na-ca-ra-ka” (ana caraka) yang artinya ‘utusan’ (hananira hananing Hyang) yang diberi cipta (ca), rasa (ra), lan karsa (ka).
Pemberian ‘cipta-rasa-karsa’ inilah yang membedakan manusia dengan mahluk lainnya. Pada umumnya siklus hidup yang dijalani manusia adalah sebagai berikut: ‘Ada (lahir) – menjadi momongan orang tua – dewasa (bisa mencari nafkah sendiri) – kawin/menikah – memiliki keturunan (momong) – mengentaskan momongannya – mati’. Siklus yang demikian ini terjadi bukan hanya pada manusia, tetapi dialami juga oleh mahluk yang lainnya. Yang artinya, hanya sekedar menjalani naluri alamiah. Tidak mengoptimalkan perangkat hidup pemberian Tuhan Yang Maha Kuasa yang menyebabkan manusia itu disebut ‘mahluk yang sempurna’. Menurut istilah agama Islam manungsa itu diposisikan menjadi ‘Kalifatullah fil ardhi’, wakil atau utusan Gusti Allah di dunia ini. Akan tetapi perlu diingat bahwasanya manusia yang dapat menjadi utusan Gustin Allah adalah manusia yang bisa mengoperasionalkan ‘cipta-rasa-karsa’nya sesuai dengan kehendak Gusti Yang Maha Kuasa. Bukannya manusia yang hanya dapat mengoperasionalkan naluri alamiahnya seperti gambaran dalam siklus seperti yang tersebut di atas.
Untuk dapat mengoperasikan ‘cipta-rasa-karsa’ dibutuhkan ‘ilmu’ dan ‘laku‘. Ilmu digunakan untuk memahami tentang sejatinya ‘cipta-rasa-karsa’ itu. Sedangkan ‘laku’ untuk menempatkan pengertian suatu ilmu menjadi ‘watak-wantu’. Yang apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris ‘watak-wantu’ itu meliputi :knowledge, attitude, skill, aptitude, dan habit yang bisa disingkat KASAH. Disinilah salah satu cara untuk memahami kalimat “ngelmu iku kelakone kanthi laku“. Artinya: ilmu itu bisa merasuk menjadi ‘watak wantu’ manusia apabila disertai dengan ‘laku’ atau
menjalaninya. Berhubung ‘cipta-rasa-karsa’ tersebut terdapat pada
manusia yang hidup, maka ilmunya pun ilmu hidup, proses penerapannya
dengan menjalani hidup. Yang menjadi pertanyaan adalah, seandainya ada
‘ilmu hidup’, sudah pasti ada ‘ilmu mati’, karena kehidupan ini
diciptakan berpasangan. Tentu saja ada, yaitu segala ilmu yang
mementingkan untuk persiapan mati. Segalanya dimanfaatkan untuk
persiapan mati. Ada yang secara lahiriah, contohnya dengan menumpuk
harta untuk diwariskan kepada keturunannya. Ada pula yang secara
batiniah, misalkan dengan menjalani ‘mati sajroning urip’ yang dijalani dengan mengendalikan segala ‘cipta-rasa-karsa’. Yaitu tapa brata
atau semedi dengan menyingkir dari keramaian. Semuanya tidak ada yang
salah dan keliru. Karena bersifat subyektif sekali, hal ini berhubungan
dengan ‘persepsi’ setiap manusia tentang hidup yang berbeda-beda.
Postingan
artikel ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan pengetahuan
penulis, apabila ada kritik dan saran dari pembaca akan penulis jadikan
bahan masukan untuk menambah wawasan. Posting ini hanyalah obsesi
penulis yang ingin berekspresi namun juga bisa dijadikan sarana
introspeksi diri.
Terima kasih
ConversionConversion EmoticonEmoticon