Reog Ponorogo |
Reog merupakan kesenian yang digunakan sebagai sarana pengumpul massa dan komunikasi yang efektif bagi penguasa pada waktu itu.
Alkisah Ki
Ageng Mirah membuat cerita legendaris mengenai Kerajaan Bantaranangin
yang oleh sebagian besar masyarakat Ponorogo dipercaya sebagai legenda
dan sekaligus sejarah yang keramat. Adipati Batorokatong (Lembu
Kanigoro/putra Brawijaya V) kemudian memanfaatkan barongan ini untuk
menyebarkan agama Islam.
Nama Singa Barongan disebut juga Reog,
yang berasal dari kata Riyoqun, yang berarti khusnul khatimah. Yaitu
bermakna: walaupun sepanjang hidupnya bergelimang dosa, namun bila
akhirnya sadar dan bertaqwa kepada Allah, maka surga jaminannya. Reog
terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Legenda cerita
ciptaan Ki Ageng Mirah yang diteruskan mulut ke mulut (sastra lisan),
dari generasi ke generasi.
Ki Ageng Mirah adalah seorang Mpu
Jangga (jangga=leher) muda atau disebut juga pujangga anom di kemudian
hari. Kemampuan seorang Mpu Jangga mampu membalut nilai filosofis
(Filsafat Manusia (Philosophical Antropology), Filsafat Pengetahuan
(Epistemology), Filsafat Nilai (Axiology), Filsafat Moral atau Etika
(Ethics), Filsafat Sosial (Social Philosophy) hakikat hidup dikemas
dalam bentuk legenda dari lisan (jangga) dan juga kesenian rakyat berupa
tarian. Lebih dari 7 abad karya seorang Mpu Jangga masih lestari dan
bahkan mendunia.
Adapun nilai-nilai tersebut disimbolisasikan dalam perwujudan yang beragam antara lain:
1. Barongan Kucingan / Kepala Harimau: bermakna manusia yang dikuasai
nafsu itu sangat beringas bagaikan Harimau atau Singa. Inti dari
kesenian Reog/reyog berasal dari kata rog = reg = yog, bisa menjadi
erog, herog, erog-erog asem. Reg bisa menjadi horeg, yog menjadi hoyog.
Kibasan topeng raksasa seberat 50 kg merupakan beban kepala manusia yang
kian oleng karena keadaan.
2. Dadak burung Merak dengan untaian
tasbih dimulutnya diatas kepala Harimau: mitos Harimau dan Merak,
keperkasaan harimau serta keindahan burung merak yang keduanya dapat
hidup rukun, melahirkan ide bagi seniman Ponorogo tradisional yakni
lambang keindahan dan kemuliaan mulut yang dzikir mampu mengendalikan
nafsu angkara murka. .
3. Jathil penunggang kuda tanpa kaki: nafsu
itu bagaikan kuda yang diapit dan dibawa kesana kemari, dalam diri
manusia sendiri. Jadi manusia itu seyogyanya menunggangi nafsu dan bukan
ditunggangi nafsu melainkan mengendalikannya.
4. Warok berpakaian
hitam yang perkasa dengan kolornya: Warok dari kata Wara' yang berarti
zuhud dalam kefakiran sebagai makhluk,sebab hanya Khaliq yang maha
sempurna. Kolor adalah tali kekang hawa nafsu dan syahwat. Diilhami
sebagai seorang wara' harus lelaku prihatin dalam setiap tirakat yang
dilakoninya.
5. Warok Sepuh: adalah lambang mursyid para warok
muda. Ketangkasan warok muda sebagai lambang keperkasaan dan kanuragan
para kanoman. Sedangkan warok sepuh adalah guru dari kalangan kasepuhan.
6. Prabu Klana Sewandana dari negeri Bantarangin: melambangkan manusia
yang berkelana dalam wujud adanya (wanda/adam) dari bantaran angin yang
kosong atau alam qodim yang wang wung atau suwung.
7. Bujangganong
atau Pujangga Anom: adalah empu jangga muda yang pandai bersyair dalam
bait- bait mantra sakti "Sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu
(Ilmu lepas sangkan paraning dumadi). Tidak lengkap nilai-nilai luhur
itu jika tidak dikisahkan dalam tutur dalam wejangan kasepuhan kepada
para taruna kanoman.
8. Cemeti Samandiman: Segala lelaku riyadhah
atau tirakat seorang insan harus memiliki ghirah/gairah/semangat.
Sebagai pecut memacu tekad menjadi sungguh-sungguh dalam lelaku....
Hingga pada akhirnya Nafsu angkara murka dapat ditundukkan... Dalam diri kita sendiri...
Semoga tidak hanya kemasannya saja yang masih ditarikan secara lurus
dan tidak dibelokkan oleh kalangan "wahmun"untuk dikonversi dan
dikaburkan maknanya, sehingga nilai-nilai luhur tersebut dapat
diaplikasikan oleh generasi penerusnya.
ConversionConversion EmoticonEmoticon