Kang wus waspada ing patrap, mangayut ayat winasis, wasana wosing jiwangga, melok tanpa aling-aling, kang ngalingi kaliling, wenganing rasa tumlawung, keksi saliring jaman, angelayut tanpa tepi, yeku aran tapa tapaking Hyang Sukma.
( Dia yang sudah mengetahui jalan, menghayati tanda-tanda
kebijaksanaan, menjangkau inti pribadi, telah bisa menyaksikan secara
nyata, yang menghalangi telah menyingkir, benar-benar memasuki alam
sunyi, terlihatlah segala keadaan, terlihat tanpa batas, itulah yang
dinamakan bertemu dengan jejak Tuhan )
Mengkono janma utama, tuman tumanem ing sepi, ing saben dina rikala mangsa, mangsah amamasuh budi, lahire den tetepi, ing reh kasatriyanipun, susilo anoraga, wignya men tyasing sasami, yeku aran wong barek berag agama.
( Seperti itulah manusia utama, senang tenggelam dalam
kesunyian, setiap hari ketika dia menemukan kesempatan, mempertajam dan
membersihkan jiwa, setia menjalankan peran sebagai kesatria, bertindak
baik, rendah hati, pandai bergaul dan membuat hati orang terpikat,
itulah yang disebut orang-orang yang menghayati agama )
Agama adalah “ ageming aji “, pegangan yang baik...ajaran
yang harus dipegang dengan kukuh dan dihayati agar muncul kebaikan.
Agama ibarat obor..ia dipegang…dijadikan penerang, agar kehidupan kita
di muka bumi ini tetap berada di jalan setapak kebenaran, tidak
terperosok apalagi tersesat, dan ujungnya…kita bisa kembali kepada asal
muasal sekaligus tujuan akhir kita, sangkan paraning dumadi, Dialah
Hyang Tunggal, Hyang Wisesa, yang disebut manusia dengan berbagai nama:
Allah, God, Elli, dan semacamnya.
Berbicara tentang kebaikan, kita mesti berbicara tentang kebaikan
pada tiga dimensi: dimensi pribadi, dimensi sosial, dan dimensi semesta.
Beragama yang baik, indikatornya adalah ketika ketiga dimensi yang
melingkupi hidup kita itu selalu dalam keadaan baik. Baik pada dimensi
pribadi, adalah bahwa kita menemukan kebahagiaan sejati, kita bisa
merasakan kedamaian yang tak bercampur dengan kegelisahan, kita masuk ke
dalam alam keselamatan yang tak lagi dikotori musibah. Sementara baik
pada dimensi sosial, maknya kita dipersepsi baik oleh orang di sekitar
kita, karena kita selalu memberikan kebahagiaan, ketenangan, rasa aman,
dan keselamatan kepada mereka. Dan terakhir, baik pada dimensi
semesta…kita, sebagai jagad alit, menjadi selaras dengan jagad ageng.
Kita bisa merasa terhubung dengan tanah, udara, air, api…kita bisa
merasa satu dengan tetumbuhan, hewan, matahari, bulan, semesta yang tak
terbatas…yang wujud nyatanya, alam ini selamat dari semua kejahatan
kita.
Sudahkah agama membawa kebaikan bagi kita? Harus kita sendiri yang
menentukannya secara jujur. Kadang ada orang yang tahu apakah kita sudah
beragama dengan baik atau belum..merekalah kaum yang waskito…tapi walau
mereka tahu, mereka tak bisa mengubah nasib kita. Kita sendirilah yang
harus mengubah keadaan, perjalanan hidup kita.
Dalam kenyataan hidup saat ini, di nusantara yang kita cintai ini,
terlihat apa yang disebut dengan peningkatan gairah beragama. Di
mana-mana orang menunjukkan semangat untuk kembali pada agama.
Sayang sekali..pada banyak kasus..kebangkitan itu hanya pada tataran artifisial. Orang ternyata baru kembali pada kulit agama…mereka seperti anak-anak di hari lebaran yang bangga ketika mengenakan baju baru tanpa peduli akan makna kembali pada fitrah dan kesucian. Seringkali..hakikat agama itu sendiri tak terlihat…Banyak orang yang ternyata bajunya saja yang sudah baju agama, tetapi dalamnya, lapisan jiwanya..belum diterangi oleh agama.
Sayang sekali..pada banyak kasus..kebangkitan itu hanya pada tataran artifisial. Orang ternyata baru kembali pada kulit agama…mereka seperti anak-anak di hari lebaran yang bangga ketika mengenakan baju baru tanpa peduli akan makna kembali pada fitrah dan kesucian. Seringkali..hakikat agama itu sendiri tak terlihat…Banyak orang yang ternyata bajunya saja yang sudah baju agama, tetapi dalamnya, lapisan jiwanya..belum diterangi oleh agama.
Gampang sekali mengamati fenomena di atas. Kita bisa melihat orang
atau kelompok yang paling merasa beragama dan paling merasa dekat
Tuhan…di kalangan mereka agama diteriakkan, Tuhan juga diteriakkan…tapi
hasilnya justru orang merasa tak nyaman, merasa tak aman, dan jauh dari
kedamaian.
Tanda paling jelas untuk melihat kualitas keberagamaan kita adalah
dengan melihat bagaimana respons alam ini. Saat ini, mengiringi
bangkitnya semangat keagamaan, ternyata alam malah menjadi tak
bersahabat. Bahkan alam ini, bumi pertiwi malah berduka…jagade gonjang
ganjing!
Jelas ada yang keliru! Kebaikan pada berbagai dimensinya tidak muncul
ketika saat ini orang seperti telah kembali pada agama. Mengapa? Karena
sesungguhnya mereka tidak kembali pada hakikat agama sebagai agama
ageming aji dan aturan yang mencegah manusia dan semesta ini terperosok
pada ketidakteraturan. Agama yang hanya dipahami sebagai identitas
budaya, yang membuat seseorang merasa berbeda dari orang atau kelompok
lainnya…Itu jelas hanya akan menciptakan keburukan pada dimensi sosial
sekaligus membuat kita terputus hubungan dengan semesta. Apalagi saat
ini kita juga bisa melihat banyak pihak mengulang pola yang sudah lama
mewarnai Nusantara maupun berbagai belahan dunia: memanipulasi agama,
baik sengaja maupun tak sengaja. Ketika agama dimanipulasi, agama
dijadikan topeng untuk ambisi, hasrat, dan obsesi rendah. Jelas, pada
tataran sosial yang terjadi adalah kekacauan, pada tataran alam yang
muncul adalah bencana.
Jika kita mau agama kita memberikan kebaikan yang utuh..maka apa yang
dituliskan dalam Serat Wedatama di atas layak jadi pegangan. Kita mulai
belajar menjalani agama sebagai petunjuk untuk memasuki alam kesunyian,
alam pertemuan dengan Dzat Yang Maha Misteri. Langkah praktisnya adalah
menekankan aspek agama sebagai petunjuk tentang perilaku yang baik:
agama sebagai pedoman akhlakul karimah ( budi pekerti luhur ). Berbagai
ritual agama, ditempatkan pada konteks riyadhoh, pelatihan, agar diri
ini bisa terkendalikan, dan kemudian, bisa terbiasa untuk berbuat baik
kepada diri sendiri, kepada Yang Mencipta kita, dan kepada sesama
ciptaan.
Pada posisi beragama seperti
yang diajarkan dalam Serat Wedhatama, arogansi dalam beragama, yang
muncul dalam kebiasaan mengaku-ngaku sebagai satu-satunya kelompok yang
pantas menjadi kekasih Tuhan, satu-satunya umat yang selamat dan bisa
menikmati surga..harus disingkirkan. Itu harus diganti dengan kerendahan
hati..dengan sikap diam dalam ketekunan menjalankan laku prihatin.
Keberagamaan kita tidak lagi disampaikan lewat kata-kata, tapi
dibuktikan melalui perilaku mulia yang membuat orang lain tersenyum
bahagia karena keberadaan kita.
2 comments
Click here for commentsMatur nambah suwun.... den.
ReplyRahayu.
ConversionConversion EmoticonEmoticon