1. Sahasa Jawa.
“Kawuri pangertine Hyang, taduhira sastra kalawan gending, sokur yen
wus sami rujuk nadyan aksara jawa, datan kari saking gending asalipun,
gending wit purbaning kala, kadya kang wus kocap pinuji”.
Bahasa Indonesia.
“Pemusatan diri pada Hyang, petunjuknya berupa sastra (syariat) dan
bunyi gending (Ma'ripat). Jika telah disepakati (bersama), meskipun
aksara jiwa tidak meninggalkan bunyi gending asalnya, bunyi gending
sejak jaman purbakala, seperti yang telah diucapkan terdahulu.”
2. Bahasa Jawa
“Kadya sastra kalidasa, wit pangestu tuduh kareping puji, puji
asaling tumuwuh, mirit sang akadiyat, ponang : Ha na ca ra ka :
pituduhipun, dene kang : da ta sa wa la; kagetyan ingkang pinuji”.
Bahasa Indonesia
“Seperti halnya sastra (aksara jawa) yang dua puluh (adalah) sebagai
pemula untuk mencapai kebenaran, yang mempatkan petunjuk akan makna
puji, serta puji kepada segala sumber yang tumbuh (atau hidup);
memberikan (mirit) ajaran akadiyat berupa ha na ca ra ka, petunjuknya.
Sedang da ta sa wa la, adalah berarti kepada (kepada Tuhan)
yang dipuji”.
3. Bahasa Jawa.
“Wadat jati kang rinasan, ponang: pa da ja ya nya; angyekteni, kang
tuduh lan kang tinuduh, pada santosanira, wahanane wakhadiyat
pembilipun, dene kang : ma ga ba ta nga, wus kenyatan jatining sir”
Bahasa Indonesia
“Wadat jati yang dirasakan berupa: pa da ja ya nya; adalah yang
menyaksikan bahwa yang memberi dan yang diberi petunjuk adalah sama
teguhnya; tujuannya (adalah) mendukung dan akhadiyat, sedang: ma ga ba
ta nga (berarti) sudah menjadi nyata (keadaan) sir yang sejati?’.
4. Bahasa Jawa.
“Pratandane Manikmaya, wus kenyatan kawruh arah sayekti, iku wus
akiring tuduh, Manikmaya an taya, kumpuling tyas alam arwah pambilipun,
iku witing ana akal, akire Hyang Maha Manik”.
Bahasa Indonesia.
“Tanda (daripada) Manikmaya (terlihat) juga sudah nyata pengetahuan
akan tujuan yang sesungguhnya, itulah akhir dari pada petunjuk; Manik
Maya adalah Tiada/Taya (suwung) (yaitu) bersatunya hati dengan alam
arwah; itulah saat mulanya ada akal, dan adalah akhir dari pada Hyang
Maha Manik”.
5. Bahasa Jawa.
“Awale Hyang Manikmaya, gaibe tan kena winoring tulis, tan arah gon
tan dunung, tan pesti akir awal, manembahing manuksmeng rasa pandulu,
rajem lir hudaya retna, trus wening datanpa tepi”.
Bahasa Indonesia.
“Kegaiban dari awal Hyang Manikmaya tak dapat diramu atau diungkap
dengan tulisan, tiada awal dan tiada tempat, tiada arah dan tiada akhir;
sembahnya (dengan) melebur ke dalam rasa penglihatan, (bersifat) tajam
bagaikan pucuk manikam, jernih tembus tak bertepi”.
6. Bahasa Jawa.
“Iku telenging paningal, surah sane kang sastra kalih desi, lan mirit
sipati rong puluh, sipat kahananing dat, ponang akan durung ana
ananipun kababaring gending akal, Manikmaya wus kang ngelmi”.
Bahasa Indonesia
“Itulah pusat penglihatan, makna daripada dua puluh aksara, dan
(juga) mengajarkan sifat dua puluh, sifat keadaan Dat, ketika akal belum
mengada (ada) terurai dalam kata-kata (yang) menyatakan akal, Manikmaya
itulah Ngelmi”.
1 Sura 1915
1 Muharam 1403 H
18 Oktober 1982
ConversionConversion EmoticonEmoticon